Rabu, 19 Maret 2014

Bagaimana Dengan Kondisi Perekonomian Pada Tahap Pemerintahan SBY ??



Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono atau yang terkenal dengan sebutan SBY, telah membuat babak baru dalam perjalanan sejarah Indonesia. Beliau dilantik sebagai presiden keenam Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004 bersama wapresnya Jusuf Kalla yang kemudian kembali terpilih di Pemilu 2009 bersama wapresnya Boediono. Bersama dengan pasangannya, SBY memiliki komitmen untuk tetap melaksanakan agenda reformasi. Program pertama pemerintahan SBY-JK dikenal dengan program 100 hari. Program ini bertujuan memperbaiki sistem ekonomi yang sangat memberatkan rakyat Indonesia, memperbaiki kinerja pemerintahan dari unsur KKN, serta mewujudkan keadilan dan demokratisasi melalui kepolisian dan kejaksaan agung. Langkah tersebut disambut baik oleh masyarakat. Secara umum SBY-JK melakukan pemeriksaan kepada pejabat yang diduga korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi kebebasan oleh presiden untuk melakukan audit dan pemberantasan korupsi. Hasilnya telah terjadi pemeriksaan tersangka korupsi dan pejabat pemerintahan sebanyak 31 orang selama 100 hari. Artinya SBY-JK sungguh memilki komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi.
Perekonomian Indonesia di awal tahun 2004 menunjukkan perkembang yang semakin mantap, bahkan lebih baik dari perkiraan awal tahun. Kegiatan ekonomi mencatat pertumbuhan tertinggi pasca krisis ekonomi yaitu sebesar 5,1% yang diikuti dengan perbaikan pola ekspansi. Pertumbuhan ekonomi yang didukung dan dicapai dengan stabilitas makroekonomi yang terjaga. Sementara Perkembangan inflasi pada tahun  2004 mengalami kenaikan tetapi tingkat inflasi relative terkendali pada tingkat 6,4% walupun nilai tukar rupiah sempat melemah.

Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.

Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth dan pro environment benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 35,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.

Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.
Tiga bulan pertama setelah Presiden SBY berkantor di Medan Merdeka Utara, nilai tukar rupiah masih tercatat sebesar Rp 8.465 per satu dolar AS. Setelah itu, rupiah terus melemah sampai akhir 2013 menjadi Rp 12.819. Alhasil, rupiah sudah turun atau terdepresiasi 51%.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi
Cadangan devisa menunjukkan hal positif karena tumbuh 177% dari Rp 36,3 triliun menjadi Rp
99,3 triliun per Desember 2013. Ada penambahan Rp 63 triliun. Sementara utang luar negeri pemerintah dalam empat tahun terakhir naik sebesar Rp 781 triliun, dari Rp 1.590 triliun pada 2009 menjadi Rp 2.371 triliun di akhir 2013. Akibatnya beban utang per kapita rakyat juga naik 26% dari Rp 6,8 juta menjadi Rp 8,6 juta per kapita.

Pendapatan per kapita naik dari US$ 2.272 menjadi US$ 3.557 per kapita (produk domestik bruto/GDP versi Bank Dunia), masih jauh di bawah negara terkaya (Luxemburg sebesar US 103 ribu) tapi 14 kali dari negara termiskin di dunia (Burundi US$ 250). Tapi naiknya indikator GDP per kapita maupun (gross national income)GNI per kapita dari US$ 3.880 menjadi US$ 4.730 praktis belum membuat rakyat Indonesia makmur, aman, sejahtera apalagi bahagia.

Dalam Indeks Kesejahteraan (Prosperity Index dari Liberatum Institute), peringkat Indonesia justru menurun dari posisi 61 (2009) menjadi 69 (2013). Tiga negara yang rakyatnya paling bahagia dan sejahtera adalah Norwegia, Swiss dan Kanada. Indeks ini secara implisit menunjukan bahwa naiknya pendapatan per kapita orang Indonesia tidak praktis membuat orang Indonesia bahagia dan sejahtera.

Justru kualitas kehidupan pribadinya memburuk. Ini tidak terlepas faktor sosial politik, keamanan, dan lingkungan terkecil dan terdekat di sekitarnya. Indonesia memang berhasil mengurangi penduduk miskin sebanyak 8 juta orang dari 36 juta menjadi 28 juta dan sampai awal tahun 2014 di Indonesia masih ada hampir 29 juta warga miskin atau 11,47% total penduduk. Ini bertambah hampir setengah juta orang miskin dari Maret sampai September 2013.

Ini adalah dampak dari naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan melambungnya inflasi laksana virus yang menggerogoti kekebalan tubuh. Sebut saja, kenaikan harga BBM pada 2005 menambah 4 juta orang miskin baru tahun 2006.

Di sisi lain, kini orang kaya bertambah, baik dari sisi jumlah maupun nilai kekayaan mereka. Dari Oktober 2009 sampai Oktober 2013 jumlah simpanan orang kaya di perbankan naik 90% menjadi 3.574 triliun rupiah dan jumlah rekening naik 56% menjadi 134 juta rekening.

Tapi dilihat dari komposisi nilai simpanan maka tidak sampai 0,1% dari dana tersebut dimiliki oleh 170 ribu rekening dengan saldo di atas Rp 2 miliar, termasuk 106 ribu yang punya simpanan lebih dari Rp. 5 miliar. Bayangkan saja, pemilik rekeningnya kurang dari 0,1% tapi orang kaya menguasai 54% total simpanan perbankan. Ini merupakan sebuah str uktur piramida yang sangat runcing dan mencerminkan ketimpangan.

Pada periode jilid 2 ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :  BI rate, Nilai tukar, Operasi moneter, dan Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.

Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sepuluh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa keemasannya. Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Namun Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 tercatat sebesar 5,78%. Capaian tersebut ternyata paling rendah sejak tahun 2009 atau 5 tahun terakhir.

Masih banyak kebijakan yang harus dievaluasi,diantaranya Kebijakan kontroversial pertama Presiden SBY mengenai pengurangan subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun munculnya kebijakan pembelian minyak dengan patokan harga dunia membuat masyarakat semakin menderita. Fluktuasi harga minyak yang berubah-ubah membawa ketidakpastian harga minyak bumi. Dampaknya masyarakat diombang-ambingkan dengan harga minyak yang tidak pasti.



Kemudian timbullah kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.



Kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan pada masa SBY:
• Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
• Konversi minyak tanah ke gas.
• Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
• Buy back saham BUMN
• Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil.
• Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
• Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan “Visit Indonesia 2008″.
• Pemberian bibit unggul pada petani.
• Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
 
Masalah yang muncul :
  1. Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
  1. Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
  1. Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidak kompakan anggota kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
  1. Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok.
  1. Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
  1. Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’. Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.
  1. Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.



Data yang saya peroleh dari BPS selama tahun 1998-2008 dimana pembangunan di Indonesia mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, pada tahun 1998 minus 13.1 persen. Pada SBY tampil sebagai Presiden, tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5.1 persen. Dan tahun 2008 diproyeksikan sebesar 6,4 persen. Cadangan devisa yang semula 33.8 miliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen.

Tingkat kemiskinan juga terus berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan mencapai 24.2 persen. Pada masa awal Presiden SBY, tingkat kemiskinan ini turun menjadi 16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4 persen dari total penduduk Indonesia.

Utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dipangkas habis pada masa pemerintahan SBY. Tengok saja, pada tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006, dua tahun setelah memimpin Indonesia, Presiden SBY berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar 7.8 miliar dolar AS.

Selengkapnya, lihat data-data laju pembangunan Indonesia 10 tahun terakhir berikut. Data-data ini berasal dari BPS.

Namun pada September 2013 menurut BPS tingkat inflasi mencapai 8.38 % sehingga angka tersebut mendorong kemiskinan. J